Jurnalis Yang Jarinya Dipotong & Arah Baru Pemerintahan Prabowo Subianto: Ketika Luka Lama Bertemu Janji Transformasi Publik
Jurnalis Yang Jarinya Dipotong & Arah Baru Pemerintahan Prabowo Subianto: Ketika Luka Lama Bertemu Janji Transformasi Publik
Penulis: Toto
KALIMANTAN TENGAH | Bongkarr.com | Kamis, 11 DES 2025 | 16:13 WIB—
Dua dekade lebih telah berlalu sejak tragedi yang menimpa Abi Kusno Nachran, jurnalis lokal Kalimantan yang menjadi simbol keberanian dalam membongkar praktik penebangan hutan ilegal. Namun kisah brutal yang menimpanya — empat jari terputus, 17 luka tusukan, dan lebih dari 350 jahitan — tetap menjadi pengingat gelap tentang risiko besar yang dihadapi para jurnalis investigasi di Indonesia.
Hari ini, ketika pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mulai menegakkan agenda transformasi publik, kisah Abi kembali relevan: seberapa jauh negara mampu menjamin keamanan jurnalis, memberantas mafia hutan, dan memastikan keterbukaan birokrasi yang selama ini menjadi akar masalah?
Luka yang Belum Sembuh: Kisah Tragis Abi Kusno Nachran
Lahir di Pangkalan Bun pada 1941, Abi Kusno Nachran dikenal sebagai jurnalis tangguh Tabloid Lintas Khatulistiwa. Ia tak hanya menulis; ia mengungkap, menginvestigasi, dan melaporkan langsung ke aparat ketika menemukan pengangkutan kayu ilegal, termasuk menggagalkan tiga kapal berbendera asing yang hendak keluar dari Taman Nasional Tanjung Puting.
Keberaniannya membuatnya menjadi sasaran.
Pada 28 November 2001, Abi dan editornya diserang sekelompok orang tak dikenal bersenjata mandau. Ia hampir tewas, kehilangan empat jari, dan membutuhkan 29 kantong darah untuk bertahan hidup.
Setelah pulih, Abi secara terbuka menyebut nama beberapa tokoh lokal sebagai pihak yang ia duga terkait serangan itu, namun hingga kini tidak ada penuntutan hukum yang menguatkan dugaan tersebut. Kasus ini pun menjadi simbol rapuhnya perlindungan terhadap jurnalis yang mengungkap kejahatan lingkungan.
Transformasi Publik ala Prabowo: Akankah Luka Lama Bisa Terjawab?
Memasuki periode pemerintahannya, Presiden Prabowo Subianto menempatkan penegakan hukum, birokrasi modern, dan keamanan nasional sebagai fondasi transformasi publik. Dalam konteks kehutanan dan perlindungan jurnalis, beberapa agenda pemerintah menjadi titik penting yang dinilai dapat menjadi jawaban atas tragedi seperti yang dialami Abi Kusno.
1. Penegakan Hukum Kehutanan Diperketat
Pemerintah meningkatkan operasi penindakan terhadap penebangan ilegal, mengerahkan kepolisian, TNI, dan KLHK untuk patroli terpadu. Penutupan perusahaan yang terlibat dan penyitaan kayu ilegal digencarkan.
Langkah ini dianggap krusial dalam memotong mata rantai mafia hutan — jaringan yang dahulu kerap berhadapan langsung dengan jurnalis, termasuk Abi.
2. Moratorium dan Pengawasan Berbasis Teknologi
Moratorium pembukaan hutan primer dan lahan gambut tetap dilanjutkan. Pemerintah juga mulai memperluas penggunaan citra satelit dan sistem deteksi dini untuk memantau aktivitas ilegal secara real time.
Di era ketika jurnalis sering bekerja tanpa perlindungan, teknologi ini diharapkan mampu menggantikan sebagian peran investigasi lapangan yang berisiko tinggi.
3. Penguatan Sistem Legalitas (SVLK) dan Transparansi
SVLK diperkuat untuk memastikan kayu yang beredar berasal dari sumber legal. Sistem audit independen mendorong akuntabilitas industri kayu — sektor tempat banyak konflik terjadi dan kerap menjadi alasan ancaman terhadap aktivis maupun jurnalis.
4. Rehabilitasi Hutan dan Pelibatan Masyarakat
Program reboisasi melibatkan masyarakat lokal, membuka mata pencaharian alternatif sehingga ketergantungan terhadap kegiatan ilegal bisa berkurang.
5. Peningkatan Kesadaran Publik
Kampanye pelestarian hutan serta pendidikan hukum menjadi bagian penting untuk menumbuhkan ekosistem sosial yang mendukung transparansi dan perlindungan bagi pelapor pelanggaran.
Tantangan: Mafia Hutan Tidak Hilang dalam Semalam
Meski agenda transformasi publik berjalan, tantangan tetap besar:
Koordinasi antarinstansi masih tumpang tindih.
Keterbatasan sumber daya membuat pengawasan hutan yang luas menjadi sulit.
Korupsi sektor kehutanan masih menjadi ancaman serius.
Ekonomi lokal yang bergantung pada hutan membuat masyarakat rentan masuk ke aktivitas ilegal.
Di titik inilah keamanan jurnalis menjadi isu krusial: tanpa perlindungan hukum, investigasi terhadap kejahatan lingkungan akan terus mengandung risiko yang sama seperti yang dihadapi Abi Kusno dua dekade silam.
Peran Publik: Dari ABI ke Era Baru
Kisah Abi Kusno menjadi pengingat bahwa transformasi publik tidak hanya soal kebijakan, tetapi tentang keberanian dan jaminan keselamatan bagi mereka yang mengawasi jalannya negara: jurnalis, aktivis, dan masyarakat sipil.
Organisasi non-pemerintah, media independen, serta lembaga internasional terus mendukung upaya ini melalui:
pengawasan independen,
advokasi kebijakan,
serta bantuan teknis dan pendanaan untuk perlindungan hutan.
Penutup: Harapan Baru atau Luka Lama yang Berulang?
Jika transformasi publik era Prabowo benar ingin menciptakan birokrasi yang bersih, hukum yang tegas, dan lingkungan yang aman, maka perlindungan terhadap jurnalis — termasuk mereka yang berada di garis depan pemberantasan kejahatan lingkungan — harus menjadi prioritas.
Kisah Abi Kusno Nachran bukan sekadar tragedi.
Ia adalah cermin peringatan: tanpa keberanian seperti miliknya, banyak kejahatan tidak akan pernah terungkap.
Dan tanpa negara yang melindungi keberanian itu, transformasi apa pun akan kehilangan makna.
