EDITORIAL BONGKARR.COM Sejarah Tanah Egendom hingga Menjadi HGU PTPN I Regional 2: Mengurai Kabut Sengketa Agraria dari Masa Kolonial ke Indonesia Modern
EDITORIAL BONGKARR.COM
Sejarah Tanah Egendom hingga Menjadi HGU PTPN I Regional 2: Mengurai Kabut Sengketa Agraria dari Masa Kolonial ke Indonesia Modern
Penulis: Tim Redaksi | Editor: Lot Baktiar Sigalingging
BANDUNG | Bongkarr.com | Sabtu, 6 Des 2025 | 07:46 WIB –
Tanah perkebunan di wilayah Priangan—dari Ciwidey, Pasirjambu, Rancabali, Gambung, Malabar hingga Kertamanah—merupakan saksi sejarah panjang perjalanan agraria Indonesia. Berakar dari sistem pertanahan kolonial, tanah-tanah tersebut pernah berstatus Egendom Verponding, lalu dinasionalisasi, dikonversi melalui UUPA, dan kini dikelola sebagai HGU oleh PTPN I Regional 2 setelah restrukturisasi PTPN VIII.
Namun riwayat panjang ini pula yang menjadi sumber berulangnya sengketa, klaim “ahli waris”, hingga munculnya berbagai kelompok yang mengatasnamakan keluarga kolonial atau pewaris perkebunan. Editorial ini mencoba menguraikan duduk persoalan secara jernih sebagai bentuk edukasi publik sesuai amanat Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers No. 40/1999.
Jejak Kolonial: Ketika Tanah Berstatus Egendom Verponding
Pada masa Hindia Belanda, sistem pertanahan dibangun secara dualisme:
Tanah adat untuk pribumi
Tanah eigendom/erfpacht untuk perusahaan-perusahaan Eropa
Di sinilah lahir istilah Egendom Verponding—hak milik absolut menurut hukum Barat yang dibebani pajak (verponding). Status ini diberikan kepada perusahaan Belanda untuk perkebunan teh, kina, kopi, dan karet.
Ciri khas tanah Egendom:
1. Hak milik penuh menurut hukum Barat
2. Masuk dalam register pajak kolonial
3. Tidak tunduk pada hukum adat
4. Dapat dipindahtangankan antarperusahaan Eropa
Karena tidak pernah tercatat dalam buku desa atau sistem tanah adat, pasca-kemerdekaan banyak muncul penafsiran keliru bahwa tanah tersebut merupakan warisan keluarga lokal. Padahal secara hukum kolonial, pemiliknya adalah perusahaan Eropa, bukan individu pribumi.
1958–1960: Nasionalisasi Mengakhiri Kepemilikan Belanda
Ketegangan politik Indonesia–Belanda berujung pada kebijakan besar: nasionalisasi seluruh perusahaan Belanda.
Landasan hukumnya:
UU No. 86 Tahun 1958
Peraturan pelaksana 1959–1960
Konsekuensinya jelas:
Seluruh perusahaan Belanda dinyatakan menjadi milik Republik Indonesia
Termasuk: tanah, aset, bangunan, dan seluruh Egendom Verponding
Sejak saat itu, tidak ada lagi Egendom milik pribadi atau keluarga. Semuanya telah menjadi aset negara.
Ini adalah keputusan politik–hukum yang final.
1960: UUPA Menghapus Sistem Agraria Kolonial
Lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 menjadi tonggak penting. UUPA secara tegas:
Menghapus seluruh sistem tanah kolonial (Egendom, Erfpacht, Opstal)
Mengkonversi seluruh hak Barat menjadi hak nasional
Tanah bekas Egendom yang digunakan perkebunan negara kemudian ditetapkan menjadi:
→ Hak Guna Usaha (HGU)
Dengan demikian:
Egendom tidak lagi eksis secara hukum setelah 1960
Klaim waris pribadi atas tanah eks perkebunan kolonial hilang dasar hukumnya
Inilah fakta hukum yang sering luput dipahami publik.
Era Baru Perkebunan: Dari PTP ke PTPN VIII hingga PTPN I Regional 2
Pada masa Orde Baru, perusahaan perkebunan negara dikonsolidasikan menjadi PTPN. Wilayah Jawa Barat masuk dalam PTPN VIII.
Perkebunan-perkebunan besar seperti Rancabali, Ciwidey, Gambung, Malabar, Pasirjambu, Kertamanah berada di bawah HGU PTPN VIII.
2023–2024: PTPN VIII Bersatu ke PTPN I (SupportingCo)
Melalui restrukturisasi Holding Perkebunan Nusantara, PTPN VIII dilebur ke dalam:
→ PTPN I REGIONAL 2
HGU yang sebelumnya atas nama PTPN VIII kini tercatat atas nama PTPN I Regional 2. Struktur boleh berubah, tetapi status hukum tanah tidak berubah: tetap tanah negara dengan izin HGU aktif.
Mengapa Klaim Ahli Waris Masih Muncul?
Fenomena ini terus berulang di Kabupaten Bandung dan wilayah Priangan. Beberapa penyebab utamanya:
1. Salah paham terhadap istilah “Egendom”
Banyak yang mengira Egendom adalah tanah leluhur, padahal milik perusahaan Belanda.
2. Dokumen keluarga tidak relevan
Petok D, girik, surat adat, atau riwayat keluarga tidak pernah tercatat dalam register Egendom kolonial.
3. Jual beli ilegal dan AJB bermasalah
Termasuk pembuatan AJB oleh oknum notaris tanpa dasar hak.
4. Minim edukasi hukum
Banyak yang tidak mengetahui bahwa sejak 1960 Egendom telah dihapus total.
5. Praktik mafia tanah
Ada pihak-pihak yang memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat untuk menjual “legalisasi waris” atau “sertifikat keluarga kolonial”.
Semua ini hanya memperpanjang sengketa dan merugikan masyarakat.
Status Hukum Terkini: HGU PTPN I Regional 2 Sah dan Dilindungi Negara
HGU PTPN I Regional 2 memenuhi seluruh unsur legal:
Diterbitkan oleh BPN berdasarkan UUPA
Berasal dari tanah negara hasil nasionalisasi
Dipakai untuk budidaya perkebunan sesuai peruntukan
Diperpanjang berdasarkan evaluasi pemerintah
Selama HGU masih aktif, tidak ada individu atau kelompok yang dapat mengklaim tanah tersebut sebagai hak milik pribadi.
Ini bukan opini—ini hukum positif Indonesia.
Editorial: Edukasi Agraria adalah Jalan Redam Sengketa
Bongkarr.com melalui editorial ini mengingatkan:
Sengketa tanah eks-Egendom sebagian besar berakar pada ketidakpahaman sejarah hukum.
Edukasi publik adalah kunci untuk mencegah manipulasi dan praktik mafia tanah.
Media harus menjalankan fungsi pencerahan sesuai KEJ dan UU Pers No. 40/1999, bukan memprovokasi, tetapi memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat.
Tanah Egendom telah berakhir sejak 1960. Yang tersisa kini adalah tanggung jawab bersama untuk memastikan pengelolaan HGU dilakukan secara transparan, bermanfaat bagi masyarakat, dan jauh dari hoaks maupun manipulasi yang merugikan warga.


