Penulis: Tim Editorial Editorial : "Gubernur Sumut vs PT Toba Pulp Lestari : Siapa yang Sebenarnya Dipimpin?" Bongkarr.com | Editor: Lot Baktiar Sigalingging
Editorial : "Gubernur Sumut vs PT Toba Pulp Lestari : Siapa yang Sebenarnya Dipimpin?"
Penulis: Tim Editorial Bongkarr.com | Editor: Lot Baktitiar Sigalingging
Medan | 10 November 2025 | 13:15 WIB–
Ribuan warga Sumatera Utara turun ke jalan menuntut penutupan PT Toba Pulp Lestari (TPL). Aksi yang digerakkan oleh Sekretariat Bersama Gerakan Oikumenis untuk Keadilan Ekologis ini menyoroti satu pertanyaan sederhana: Apakah pemerintah daerah berpihak pada rakyat atau perusahaan?
Sejak awal beroperasi, TPL menimbulkan konflik berkepanjangan dengan masyarakat adat di Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, dan Simalungun. Puluhan tahun perlawanan masyarakat, mulai dari gugatan hukum hingga aksi damai, seolah tak membuat pemerintah maupun perusahaan belajar. Dari penebangan pohon karet warga hingga penggusuran paksa, masyarakat terdampak menjerit tanpa suara yang cukup dari gubernur.
Koordinator aksi, Rokki Pasaribu, menegaskan:
"Kalau Gubernur tidak berpihak pada masyarakat korban, gubernur ini sebenarnya gubernur siapa? Gubernur TPL?"
—Sumber berita utama: Topmetro News
Petai Panjang: Simbol Editorial
Dalam editorial ini, “petai panjang” adalah simbol yang dipakai oleh penulis untuk menggambarkan hak masyarakat adat dan sumber daya alam yang dieksploitasi TPL. Petai hijau memanjang, berisi biji-biji yang tertutup kulit, dan memiliki aroma khas yang kuat — metafora untuk isu kompleks yang berlapis-lapis.
Sama seperti petai yang harus dibuka sebelum dimakan, hak masyarakat juga harus “dibuka” dan diperhatikan dengan cermat. Aroma petai yang menyengat tapi disukai masyarakat dianalogikan dengan isu TPL: kontroversial, memicu gesekan, namun tetap penting diperjuangkan demi kesejahteraan warga.
Simbol ini memperkuat pesan editorial: hak masyarakat adalah ‘buah’ yang harus dijaga, dipahami, dan dilestarikan, bukan diambil alih secara sepihak oleh perusahaan besar.
Kronologi Konflik TPL
1991: Konsesi TPL masuk wilayah adat Tombak Haminjon, Tapanuli Utara.
2012: Konflik resmi antara masyarakat adat vs TPL; 1.085 ha wilayah adat diklaim perusahaan.
Maret 2024: Penangkapan Ketua Komunitas Adat Sorbatua Siallagan di Dolok Parmonangan, Simalungun.
11 Agustus 2025: Penggusuran Masyarakat Adat Natinggir; 470 orang terdampak, 2 meninggal, 208 dianiaya, 260 dikriminalisasi.
22 September 2025: Serbuan sekuriti TPL di kampung Sihaporas; ibu-ibu dan anak-anak menjadi korban pemukulan.
Konflik ini telah berlangsung nyaris empat dekade, sejak 1980-an hingga 2025. Wilayah konsesi TPL lebih dari 291.263 ha, sementara 23 komunitas adat mengklaim total lahan 33.422 ha berada dalam konsesi.
—Sumber: KS PPM, AMAN
Analisis Editorial
Konflik TPL bukan hanya soal batas lahan, tetapi soal hak historis masyarakat, kelestarian lingkungan, dan keadilan agraria. Pemerintah daerah dan pusat dianggap belum menuntaskan konflik dan memberikan perlindungan yang layak.
Ketidakselesaian ini membuat mobilisasi masyarakat semakin besar dan lintas komunitas. Jika pemerintah dianggap “berpihak perusahaan”, legitimasi kepemimpinan daerah bisa dipertanyakan oleh warga.
TPL bisa menjadi simbol kemakmuran, tetapi hanya jika ada keadilan. Jika tidak, sejarah panjang konflik ini akan terus menjadi catatan kelam bagi Sumatera Utara — dan bagi setiap gubernur yang memilih diam di tengah ketidakadilan.
Tags: #TobaPulpLestari #Sumut #MasyarakatAdat #Editorial #PetaiPanjang
.jpg)
.jpg)


